Jumat, 02 November 2012

MENGHILANGKAN MONOPOLI

BAGAIMANA CARA MENGHILANGKAN SISTEM MONOPOLI DALAM SUATU PERUSAHAAN YANG MEMILIKI MODAL BESAR ???

Di zaman yang telah maju seperti sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan yang sering membuat sebuah kecanggihan atau inovasi terbaru guna untuk memperbaruhi zaman. Hal ini memang terlihat menguntungkan untuk orang yang merasakan kecanggihan tersebut seperti masyarakat luas pada saat ini. Akan tetapi, didalam pembuatan kecanggihan yang dibuat tersebut terdapat faktor-faktor pembuatan yang curang atau yang sering biasa disebut sebagai sistem monopoli dalam suatu perusahaan.

Monopoli adalah suatu bentuk interaksi antara permintaan dan penawaran di mana hanya ada satu penjual atau produsen yang berhadapan dengan banyak pembeli atau konsumen. Sebagai salah satu contoh monopoli dapat kita temukan dalam asuransi jasa trasportasi. Departemen Perhubungan belakangan ini telah membuka diri agar asuransi pelayanan jasa transportasi tidak lagi dimonopoli oleh perusahaan asuransi milik negara. Departemen Perhubungan mengharapakan untuk ke depannya agar  perusahaan swasta dapat mengambil bagian dalam melayani jasa asuransi transportasi.

Selama ini melalui UU no.33 tahun 1964, pemerintah menetapkan bahwa perlindungan dan jaminan bahwa pelayanan asuransi kerugian di bidang lalu lintas dan angkutan jalan agar dilakukan oleh perusahaan milik negara. Kebijakan tersebut membuat tidak semua modal transportasi dapat dilayani secara benar, karena sejalan dengan waktu industri transportasi terus berkembang sehingga pada akhirnya sudah tidak memungkinkan lagi bagi suatu perusahaan asuransi pemerintah tersebut untuk menjangkau seluruh elemen-elemen industri jasa transporasi yang telah ada.

Keputusan untuk membuka monopoli tersebut sebenarnya memang dipegang oleh Departemen keuangan itu sendiri. Akan tetapi, Departemen perhubungan telah menyampaikan keinginannya agar asuransi swasta dapat masuk dalam penjaminan keselamatan transportasi dan meminta Departemen Keuangan agar berkenan untuk membuka kesempatan tersebut demi kepentingan masyarakat pengguna jasa transportasi.

Menanggapi usulan Departemen Perhubungan tersebut, pihak swasta sangat menyambut hal tersebut dengan nada yang positif. Selama ini hanya Asuransi Jasa Raharja saja yang menangani permasalahan asuransi kecelakan jasa transportasi dan mencakup semuanya yaitu pada darat, laut serta udara. Jasa Raharja dilindungi dari persaingan, sehingga secara tidak langsung hal ini menghindarkan pengguna jasa transportasi (konsumen) dari mendapatkan pelayanan terbaik. Hal ini terlihat dari masih rendahnya nilai pertanggungan klaim asuransi kecelakaan yang diberikan. Sebagai contoh, pertanggungan korban meninggal pada kecelakaan transportasi darat hanya sebesar Rp10.000.000; serta Rp.5.000.000; bagi korban  yang luka-luka.

Tidak hanya industri asuransi saja yang akan diuntungkan dari pembukaan partisipasi swasta pada asuransi jasa transportasi, melainkan juga konsumen karena berpotensi untuk mendapatkan pertanggungan yang lebih besar. Banyak skema yang dapat digunakan dalam pelayanan asuransi transportasi tersebut. Salah satunya adalah konsumen atau pengguna jasa transportasi diberikan kebebasan dalam memilih asuransi tambahan jika asuransi Jasa Raharja tetap berada dalam satu paket dalam layanan suatu jasa transportasi, dengan demikian pengguna jasa berpotensi untuk mendapatkan santunan yang jauh lebih besar, karena mendapatkan penanggungan dari dua perusahaan.

Monopoli apa yang terjadi di Indonesia, Apakah industrial monopoli atau monopoli yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundangan, jawabannya adalah. selama ini substansi UU No.5 membahas monopoli yang diciptakan oleh pelaku usaha, padahal yang terjadi bukan itu, "Sebelum UU No.5 ada, pasar Indonesia tertutup karena penguasa memberi peluang kepada teman-temannya."Berdasarkan hal itu, substansi UU No.5 harus diubah sehingga sesuai dengan konteks di Indonesia, bukan secara mentah mengadopsi dari negara lain.

Penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek ternyata tidak selaras dengan UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan tidak sejalan dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan atau Negara yang baik sebagaimana diatur dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih serta Bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal itu diungkapkan oleh Suhariwanto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) disela-sela seminar Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Problema Dilematis antara Kelangsungan Usaha dan Kesejahteraan Pekerja, di Ubaya, kemarin.

Suhariwanto menjelaskan, dari sisi kepastian hukum penyelenggaraan pemerintahan/negara, ada beberapa pasal yang kontradiktif, seperti pada pasal 3 dan pasal 10 UU No 3/1992. Dalam pasal 3 disebutkan, bahwa program jamsostek ini pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi. Sementara pada pasal 10 ayat 3 disebutkan bahwa, badan penyelenggara (PT Jamsostek) sebagai satu-satunya penyelenggara. ”Kedua pasal ini secara yuridis menimbulkan problematika hukum,”tandasnya.

Problematika itu muncul, dimana rumusan pasal 10 ayat (3) UU Jamsostek menekankan bahwa program jamsostek pada PT Jamsostek itu wajib, sedangkan pasal 3 ayat (1), memberikan kebebasan kepada perusahan untuk menentukan perusahaan asuransi yang dipilih untuk mengikutsertakan pekerjanya pada program Jamsostek atau program jamsostek diselenggarakan sendiri oleh perusahaan yang bersangkutan. ”Seharusnya, pemerintah cukup mengatur ruang lingkup program Jamsostek yang wajib diikuti oleh perusahaan/pengusaha, sedangkan mengenai penyelenggaran program diserahkan kepada perusahaan/pengusaha secara mandiri,”

Dosen yang mengajar perburuhan ini menambahkan, dengan penunjukan PT Jamsostek sebagai satu-satunya penyelenggaran program Jamsostek juga bertentangan dengan UU Anti Monopoli. Sebagaimana diketahui, munculnya UU Anti Monopoli adalah untuk mencegah praktek monopoli yang dilakukan perusahaan. Sehingga praktek-praktek monopoli yang mendasarkan diri pada ketentuan UU harus ditinjau ulang. ”Sebaiknya ada revisi terkait UU Jamsostek ini dan menghilangkan monopoli dari PT Jamsostek agar tidak bertentangan dengan aturan UU lainnya,”.

Sementara itu, Sigit Priyanto, ST MM, Kasi Norma Kerja dan Jamsostek dari Dinas Tenaga Kerja Jatim mengakui, bahwa belum semua perusahaan di Jatim mengikutsertakan tenaga kerjanya pada program Jamsostek. Dari data Disnaker, jumlah perusahaan di Jatim sebanyak 28.740 dengan jumlah tenaga kerja 2.229.458. Sedangkan yang mengikuti jamsostek sebanyak 17.581 dengan tenaga kerja yang ikut Jamsostek 2.184.568. Dari angka ini, berarti masih ada 1.244 perusahaan yang belum mendaftarkan tenaga kerjanya pada program Jamsostek. ”Nah, disinilah peran Disnaker untuk mengawasi dan meminta perusahaan segera mengikutsertakan tenaga kerjanya pada program Jamsostek. Masalahnya, peran ini masih sangat lemah,” ungkapnya.

Sigit mengungkapkan, salah satu kendala yang sering dialami oleh tim pengawas disnaker adalah pada factor minimnya personil, dukungan kelembagaan, serta prosedur/mekanisme yang tidak kurang mendukung. Hal ini terjadi karena semangat otonomi daerah, sehingga membuat instansi non vertical langsung dibawah komando gubernur/bupati/walikota. ”Sebenarnya ada keinginan untuk melakukan penindakan, tapi kalau tidak didukung oleh prosedur-surat perintah dari atasan, dan back up dari kelembagaan, juga tidak bisa jalan. Inilah yang harus dipikirkan oleh pemerintah bagaimana mengatasi hal tersebut,”

Praktek monopoli sumber daya alam ternyata telah merambah kesektor pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata tidak bebas lagi menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di tempat-tempat wisata baru di Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan Senggigi-NTB. Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumberdaya alam ini tidaklah langsung 'menetas' pada masyarakat lokal di sekitar sumberdaya alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan trickle down effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan ke pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya. Ternyata kita menerapkan Pasal 33 dengan "malu-malu kucing". Jiwa sosialisme ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem ekonomi pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia mengambil jiwa sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan dan monopoli negara, serta menerapkan dengan cara otoritarian. Serta mengambil sistem ekonomi pasar bebas yang paling jelek, yaitu memberikan keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik modal, tanpa perlindungan apapun kepada rakyat kecil.

Sedangkan di pihak lain, tantangan-tantangan baru di tingkat global bermunculan, seperti adanya GATT (General Agreement on Trade and tariff), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free Trade Agreement) dan NAFTA (North american Free Trade Agreement). Era perdagangan bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi. Sektor swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat akan memonopoli kegiatan perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33 secara "kagok", kita harus mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam era perdagangan bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji secara mendalam dan hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi sangat penting agar bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan internasional tanpa harus meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung dalam konstitusinya.

            Menurut pengamat ekonomi yang juga Direktur Institute for Development Economic of Finance (Indef), Dr. Didik J. Rachbini, monopoli yang banyak terjadi di Indonesia karena adanya lisensi yang diberikan pemerintah kepada sekolompok orang saja. "Motifnyas jelas, untuk mencari keuntungan," kata Didik. Akibatnya, harga untuk beberapa komoditi yang dimonopoli tidak efisien di pasar. Korban akibat adanya monopoli, adalah masyarakat yang harus membayar mahal untuk barang yang dimonopoli itu. "Pemerintah tidak memiliki visi yang jelas dalam kebijakan ekonominya, sehingga banyak praktek-praktek monopoli dibiarkan saja oleh negara," kata doktor ekonomi pembangunan dari Central Luzon State University, Filipina.

Sebenarnya, menurut Didik, peraturan anti-monopoli sudah sejak lama ada. Yakni UU Industri Nomor 4 Tahun 1985. " Di sana tercantum tidak boleh ada praktek monopoli dalam dunia ekonomi kita," kata Didik yang lulusan Institut Pertanian Bogor. Nyatanya, hingga kini praktek monopoli terus berlangsung. Itu menunjukkan, bahwa yang melanggar UU itu adalah pemerintah, bukan rakyat. " Ini semua akibat tidak adanya kontrol politik," tegas Didik.

UU Anti Monopoli sudah ada, tapi tidak dilaksanakan. Yaitu, UU Industri Nomor 4 Tahun 1985 yang isinya melarang monopoli. Artinya, monopoli itu sudah bertentangan dengan UU. Dan pemerintah membiarkan itu, berarti pemerintah sendiri yang melanggar UU. Rakyat harus tahu, bahwa pemerintahlah yang melanggar UU, bukan rakyat. Jangan rakyat dituduh anti-Pancasila.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar