BAGAIMANA
CARA MENGHILANGKAN SISTEM MONOPOLI DALAM SUATU PERUSAHAAN YANG MEMILIKI MODAL
BESAR ???
Di zaman yang telah maju seperti
sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan yang sering membuat sebuah
kecanggihan atau inovasi terbaru guna untuk memperbaruhi zaman. Hal ini memang
terlihat menguntungkan untuk orang yang merasakan kecanggihan tersebut seperti
masyarakat luas pada saat ini. Akan tetapi, didalam pembuatan kecanggihan yang
dibuat tersebut terdapat faktor-faktor pembuatan yang curang atau yang sering
biasa disebut sebagai sistem monopoli dalam suatu perusahaan.
Monopoli adalah suatu bentuk
interaksi antara permintaan dan penawaran di mana hanya ada satu penjual atau
produsen yang berhadapan dengan banyak pembeli atau konsumen. Sebagai salah
satu contoh monopoli dapat kita temukan dalam asuransi jasa trasportasi. Departemen
Perhubungan belakangan ini telah membuka diri agar asuransi pelayanan jasa
transportasi tidak lagi dimonopoli oleh perusahaan asuransi milik negara.
Departemen Perhubungan mengharapakan untuk ke depannya agar perusahaan swasta dapat mengambil bagian dalam
melayani jasa asuransi transportasi.
Selama ini melalui UU no.33 tahun
1964, pemerintah menetapkan bahwa perlindungan dan jaminan bahwa pelayanan
asuransi kerugian di bidang lalu lintas dan angkutan jalan agar dilakukan oleh
perusahaan milik negara. Kebijakan tersebut membuat tidak semua modal
transportasi dapat dilayani secara benar, karena sejalan dengan waktu industri
transportasi terus berkembang sehingga pada akhirnya sudah tidak memungkinkan
lagi bagi suatu perusahaan asuransi pemerintah tersebut untuk menjangkau
seluruh elemen-elemen industri jasa transporasi yang telah ada.
Keputusan untuk membuka monopoli
tersebut sebenarnya memang dipegang oleh Departemen keuangan itu sendiri. Akan
tetapi, Departemen perhubungan telah menyampaikan keinginannya agar asuransi
swasta dapat masuk dalam penjaminan keselamatan transportasi dan meminta
Departemen Keuangan agar berkenan untuk membuka kesempatan tersebut demi
kepentingan masyarakat pengguna jasa transportasi.
Menanggapi usulan Departemen
Perhubungan tersebut, pihak swasta sangat menyambut hal tersebut dengan nada
yang positif. Selama ini hanya Asuransi Jasa Raharja saja yang menangani permasalahan
asuransi kecelakan jasa transportasi dan mencakup semuanya yaitu pada darat,
laut serta udara. Jasa Raharja dilindungi dari persaingan, sehingga secara
tidak langsung hal ini menghindarkan pengguna jasa transportasi (konsumen) dari
mendapatkan pelayanan terbaik. Hal ini terlihat dari masih rendahnya nilai
pertanggungan klaim asuransi kecelakaan yang diberikan. Sebagai contoh,
pertanggungan korban meninggal pada kecelakaan transportasi darat hanya sebesar
Rp10.000.000; serta Rp.5.000.000; bagi korban
yang luka-luka.
Tidak hanya industri asuransi saja
yang akan diuntungkan dari pembukaan partisipasi swasta pada asuransi jasa
transportasi, melainkan juga konsumen karena berpotensi untuk mendapatkan
pertanggungan yang lebih besar. Banyak skema yang dapat digunakan dalam
pelayanan asuransi transportasi tersebut. Salah satunya adalah konsumen atau
pengguna jasa transportasi diberikan kebebasan dalam memilih asuransi tambahan
jika asuransi Jasa Raharja tetap berada dalam satu paket dalam layanan suatu
jasa transportasi, dengan demikian pengguna jasa berpotensi untuk mendapatkan
santunan yang jauh lebih besar, karena mendapatkan penanggungan dari dua
perusahaan.
Monopoli
apa yang terjadi di Indonesia, Apakah industrial monopoli atau monopoli yang
diberikan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundangan, jawabannya adalah.
selama ini substansi UU No.5 membahas monopoli yang diciptakan oleh pelaku
usaha, padahal yang terjadi bukan itu, "Sebelum UU No.5 ada, pasar
Indonesia tertutup karena penguasa memberi peluang kepada
teman-temannya."Berdasarkan hal itu, substansi UU No.5 harus diubah
sehingga sesuai dengan konteks di Indonesia, bukan secara mentah mengadopsi
dari negara lain.
Penyelenggaraan program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 3
Tahun 1992 tentang Jamsostek ternyata tidak selaras dengan UU No 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan tidak
sejalan dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan atau Negara yang baik
sebagaimana diatur dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih serta Bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal itu
diungkapkan oleh Suhariwanto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya)
disela-sela seminar Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Problema
Dilematis antara Kelangsungan Usaha dan Kesejahteraan Pekerja, di Ubaya,
kemarin.
Suhariwanto menjelaskan, dari
sisi kepastian hukum penyelenggaraan pemerintahan/negara, ada beberapa pasal
yang kontradiktif, seperti pada pasal 3 dan pasal 10 UU No 3/1992. Dalam pasal
3 disebutkan, bahwa program jamsostek ini pengelolaannya dapat dilaksanakan
dengan mekanisme asuransi. Sementara pada pasal 10 ayat 3 disebutkan bahwa,
badan penyelenggara (PT Jamsostek) sebagai satu-satunya penyelenggara. ”Kedua
pasal ini secara yuridis menimbulkan problematika hukum,”tandasnya.
Problematika itu muncul, dimana
rumusan pasal 10 ayat (3) UU Jamsostek menekankan bahwa program jamsostek pada
PT Jamsostek itu wajib, sedangkan pasal 3 ayat (1), memberikan kebebasan kepada
perusahan untuk menentukan perusahaan asuransi yang dipilih untuk mengikutsertakan
pekerjanya pada program Jamsostek atau program jamsostek diselenggarakan
sendiri oleh perusahaan yang bersangkutan. ”Seharusnya, pemerintah cukup
mengatur ruang lingkup program Jamsostek yang wajib diikuti oleh
perusahaan/pengusaha, sedangkan mengenai penyelenggaran program diserahkan
kepada perusahaan/pengusaha secara mandiri,”
Dosen yang mengajar perburuhan
ini menambahkan, dengan penunjukan PT Jamsostek sebagai satu-satunya
penyelenggaran program Jamsostek juga bertentangan dengan UU Anti Monopoli.
Sebagaimana diketahui, munculnya UU Anti Monopoli adalah untuk mencegah praktek
monopoli yang dilakukan perusahaan. Sehingga praktek-praktek monopoli yang
mendasarkan diri pada ketentuan UU harus ditinjau ulang. ”Sebaiknya ada revisi
terkait UU Jamsostek ini dan menghilangkan monopoli dari PT Jamsostek agar
tidak bertentangan dengan aturan UU lainnya,”.
Sementara itu, Sigit Priyanto, ST
MM, Kasi Norma Kerja dan Jamsostek dari Dinas Tenaga Kerja Jatim mengakui,
bahwa belum semua perusahaan di Jatim mengikutsertakan tenaga kerjanya pada
program Jamsostek. Dari data Disnaker, jumlah perusahaan di Jatim sebanyak
28.740 dengan jumlah tenaga kerja 2.229.458. Sedangkan yang mengikuti jamsostek
sebanyak 17.581 dengan tenaga kerja yang ikut Jamsostek 2.184.568. Dari angka
ini, berarti masih ada 1.244 perusahaan yang belum mendaftarkan tenaga kerjanya
pada program Jamsostek. ”Nah, disinilah peran Disnaker untuk mengawasi dan
meminta perusahaan segera mengikutsertakan tenaga kerjanya pada program
Jamsostek. Masalahnya, peran ini masih sangat lemah,” ungkapnya.
Sigit mengungkapkan, salah satu
kendala yang sering dialami oleh tim pengawas disnaker adalah pada factor
minimnya personil, dukungan kelembagaan, serta prosedur/mekanisme yang tidak
kurang mendukung. Hal ini terjadi karena semangat otonomi daerah, sehingga
membuat instansi non vertical langsung dibawah komando
gubernur/bupati/walikota. ”Sebenarnya ada keinginan untuk melakukan penindakan,
tapi kalau tidak didukung oleh prosedur-surat perintah dari atasan, dan back up
dari kelembagaan, juga tidak bisa jalan. Inilah yang harus dipikirkan oleh
pemerintah bagaimana mengatasi hal tersebut,”
Praktek monopoli sumber daya alam
ternyata telah merambah kesektor pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan
wisata tidak bebas lagi menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di
tempat-tempat wisata baru di Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan
Senggigi-NTB. Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumberdaya
alam ini tidaklah langsung 'menetas' pada masyarakat lokal di sekitar
sumberdaya alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan trickle
down effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan ke pusat
pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan, kurangnya
transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan
sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya. Ternyata kita menerapkan Pasal
33 dengan "malu-malu kucing". Jiwa sosialisme ini yang memberikan hak
monopoli kepada Negara, dilaksanakan melalui pemberian peran yang sangat besar
kepada swasta, dan meniadakan keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya.
Ini adalah sistem ekonomi pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli
negara ke swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia mengambil jiwa sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan dan
monopoli negara, serta menerapkan dengan cara otoritarian. Serta mengambil
sistem ekonomi pasar bebas yang paling jelek, yaitu memberikan keleluasaan
sebesar-besarnya kepada pemilik modal, tanpa perlindungan apapun kepada rakyat
kecil.
Sedangkan di pihak lain,
tantangan-tantangan baru di tingkat global bermunculan, seperti adanya GATT (General
Agreement on Trade and tariff), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA
(Asean Free Trade Agreement) dan NAFTA (North american Free Trade Agreement).
Era perdagangan bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur kegiatan
ekonomi. Sektor swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana
perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat akan memonopoli kegiatan
perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33 secara "kagok", kita harus
mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam era perdagangan
bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji secara mendalam dan
hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi sangat penting agar
bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan internasional tanpa harus
meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung dalam konstitusinya.
Menurut pengamat ekonomi yang juga
Direktur Institute for Development Economic of Finance (Indef), Dr.
Didik J. Rachbini, monopoli yang banyak terjadi di Indonesia karena adanya
lisensi yang diberikan pemerintah kepada sekolompok orang saja. "Motifnyas
jelas, untuk mencari keuntungan," kata Didik. Akibatnya, harga untuk
beberapa komoditi yang dimonopoli tidak efisien di pasar. Korban akibat adanya
monopoli, adalah masyarakat yang harus membayar mahal untuk barang yang
dimonopoli itu. "Pemerintah tidak memiliki visi yang jelas dalam kebijakan
ekonominya, sehingga banyak praktek-praktek monopoli dibiarkan saja oleh
negara," kata doktor ekonomi pembangunan dari Central Luzon State
University, Filipina.
Sebenarnya,
menurut Didik, peraturan anti-monopoli sudah sejak lama ada. Yakni UU Industri
Nomor 4 Tahun 1985. " Di sana tercantum tidak boleh ada praktek monopoli
dalam dunia ekonomi kita," kata Didik yang lulusan Institut Pertanian
Bogor. Nyatanya, hingga kini praktek monopoli terus berlangsung. Itu
menunjukkan, bahwa yang melanggar UU itu adalah pemerintah, bukan rakyat.
" Ini semua akibat tidak adanya kontrol politik," tegas Didik.
UU Anti Monopoli sudah ada, tapi
tidak dilaksanakan. Yaitu, UU Industri Nomor 4 Tahun 1985 yang isinya melarang
monopoli. Artinya, monopoli itu sudah bertentangan dengan UU. Dan pemerintah
membiarkan itu, berarti pemerintah sendiri yang melanggar UU. Rakyat harus
tahu, bahwa pemerintahlah yang melanggar UU, bukan rakyat. Jangan rakyat dituduh
anti-Pancasila.